Ada dua respons umum ketika manusia dihadapkan pada ancaman: melawan atau melarikan diri (fight-or-flight response). Keduanya bisa muncul pada permasalahan paling sederhana, hingga persoalan hidup yang paling kompleks.
Respons tersebut muncul berdasar pola pikir kita menghadapi permasalahan. Ketika merasa tidak mampu dan takut, kita biasanya cenderung menghindar dan melarikan diri, sebaliknya ketika merasa berani dan mampu, kita akan melawan.
Dalam bacaan Injil hari ini, Yesus diperhadapkan pada situasi pelik. Nyawa-Nya terancam karena Herodes berniat membunuh Yesus (ay.31). Respons yang paling wajar menghadapi ancaman semacam itu adalah takut dan kemudian menghindar.
Namun Yesus tak gentar dengan rencana pembunuhan itu. Alih-alih pergi dari Yerusalem, Yesus melawan Herodes dengan menyebutnya sebagai ‘serigala’ (alopex, ay. 32). Herodes telah menjadi serigala karena kelicikannya yang menghalalkan segala cara dalam tindakan politik.
Yesus berani menyongsong derita, bukan karena Ia penikmat derita, namun karena melihat justru melalui derita-Nya dunia dapat hidup dalam damai sejahtera. Misi itulah yang membuat-Nya mampu melihat derita sebagai rahmat.
Lantas, bagaimana dengan kita? Bukankah kita kerap merespons berbagai persoalan hidup dengan rasa kekhwatiran dan takut. Hal itu yang membuat kita terkadang menyerah pada keadaan, berupaya menghindar, dan dibuat tak berdaya.
Kisah Injil meneguhkan diri kita untuk mengingat kembali janji Allah. Ketika Ia selalu beserta kita (immanuel), kepada siapakah kita harus gentar? Dalam persoalan hidup paling sulit sekalipun, kita dikuatkan pada janji Allah sehingga dalam setiap derita, kita bisa menemukan rahmat dan pertolongan Tuhan.
J.Co / 12032022