Beberapa hari yang lalu seorang anggota jemaat mengirimkan pesan via WhatsApp kepada saya kira-kira demikian: “Bu Pendeta, tolong tanya bagaimana prosedur untuk mengikuti Perjamuan Kudus melalui live-streaming? Bolehkah kami sediakan roti dan anggur sendiri di rumah, atau jika tidak, di mana kami bisa mendapatkan roti dan anggur tersebut?”
Bagi saya, pertanyaan tersebut menyiratkan kerinduan akan tanda cinta Tuhan melalui Perjamuan Kudus. Sampai saat ini sudah tiga kali kita merayakan hari Minggu dengan ibadah di rumah dalam ibadah secara daring/online. Mungkin Anda bertanya, “Jika demikian, mengapa kita tidak merayakan Perjamuan Kudus secara online saja? Tidakkah Jumat Agung akan kehilangan makna, tanpa Perjamuan Kudus?” Wajar jika timbul pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Sehari usai melayankan ibadah secara daring pertama kali pada Minggu, 22 Maret 2020, sejujurnya saya mulai memikirkan kemungkinan umat merayakan Perjamuan Kudus pada Jumat Agung di rumah masing-masing, mengingat pandemi Covid-19 di Indonesia semakin hari semakin memprihatinkan. Saya berkomunikasi dengan Pdt Handi Hadiwitanto, Ketua Umum BPMS GKI, karena hal ini pasti membutuhkan kajian bersama di dalam kesatuan tubuh GKI. Tidak lama kemudian, kami para pimpinan GKI berdiskusi dalam grup WhatsApp yang dibentuk pada hari itu juga untuk membicarakan topik ini, serta perihal ibadah selama Minggu Palmarum hingga Paskah.
Ada tiga opsi yang muncul. Opsi pertama, tidak melaksanakan perayaan Perjamuan Kudus pada Jumat Agung. Opsi kedua, merayakan Perjamuan Kudus di dalam kebaktian Jumat Agung yang dilayani secara online. Opsi ketiga, Perjamuan Kudus tetap dilaksanakan oleh pelayan liturgi, tetapi umat hanya melihatnya dari rumah sambil meyakini bahwa mereka juga sudah menerima Perjamuan Kudus secara spiritual.
Mengapa akhirnya GKI memilih opsi yang pertama, yaitu menunda perayaan Perjamuan Kudus alias tidak merayakan Perjamuan Kudus pada Jumat Agung? Secara tradisi liturgi, perayaan Perjamuan Kudus di GKI sebenarnya tidak terkait erat dengan tahun gerejawi. Perjamuan Kudus tidak diadakan setiap hari Minggu. Dan juga tidak diadakan pada hari raya gerejawi seperti Natal, Pentakosta, atau Kenaikan Kristus. Perayaan Perjamuan Kudus yang terkait dengan tahun liturgi hanyalah saat Jumat Agung. Inipun karena kita mewarisi tradisi Gereja Belanda. Secara oikumenis, sebenarnya perayaan Perjamuan Kudus diadakan saat Paskah. Namun pada kenyataannya, saat ini sebagian jemaat GKI merayakan Perjamuan Kudus pada kebaktian Jumat Agung, sebagian lagi pada kebaktian Paskah. Kapan pelaksanaan Perjamuan Kudus tidaklah menjadi mutlak. Dengan demikian, tidak merayakan Perjamuan Kudus saat Jumat Agung tidaklah menjadi masalah.
Lantas apakah Jumat Agung tidak akan kehilangan makna, jika tidak ada Perjamuan Kudus? Pasti tidak. Kita ingat bahwa Sakramen Perjamuan Kudus merupakan tanda anugerah Allah. Sebagaimana halnya tanda atau simbol, ia tidak menggantikan apa yang hendak ditandai atau disimbolkan. Sebagai contoh, cincin yang disematkan oleh seorang mempelai sebagai tanda cinta, tak akan pernah bisa menggantikan cinta itu sendiri. Apa jadinya, jika suatu saat cincin itu hilang atau harus dilepaskan dari jarinya, karena alasan tertentu? Apakah ia akan otomatis kehilangan cintanya? Pasti tidak. Karena cinta tak tergantikan oleh cincin. Cinta lebih bernilai daripada cincin. Demikian pula cinta Kristus.
Jika demikian, apakah Perjamuan Kudus masih berharga untuk kita rayakan, jika ia hanyalah tanda? Pasti. Semakin kita menghayati cinta Kristus, akan membuat kita semakin menghargai tanda cinta-Nya, yaitu Perjamuan Kudus itu sendiri. Perjamuan Kudus membawa kita pada peringatan akan karya kasih Kristus (anamnesis, bahasa Latin, artinya mengenang). Perjamuan Kudus juga membawa kita pada persekutuan, baik dengan Allah, maupun dengan sesama. Itulah sebabnya kita senantiasa diingatkan untuk memeriksa diri dan bertanya, “Apakah kita sudah hidup dalam damai dengan Allah dan sesama?”
Di sini mulai bisa dilihat kesulitan teologis, jika Perjamuan Kudus dilaksanakan di rumah, atau di tempat kost kita masing-masing, baik seorang diri ataupun bersama keluarga, meskipun dalam ibadah yang dilayankan secara online atau streaming, bukan? Ya, Perjamuan Kudus sangat menekankan aspek komunal (disebut sebagai komuni, communion artinya kebersamaan), di mana umat makan bersama di dalam persekutuan umat. Itulah sebabnya, jika ada anggota jemaat yang sakit, pendeta dan penatua akan tetap melayankan Perjamuan Kudus di rumah atau di rumah sakit, karena anggota jemaat tersebut tetap merupakan bagian dari persekutuan umat. Saya tak bisa membayangkan bagaimana jika Perjamuan Kudus kita rayakan saat ini, sementara ada saudara kita yang harus berada di ruang isolasi atau para tenaga kesehatan yang harus menjalani karantina mandiri usai berjuang di garda depan bagi kesembuhan pasien Covid-19. Perjamuan Kudus mengingatkan kita untuk berbelarasa dengan saudara-saudara kita, tanpa batas.
GKI memilih untuk mengutamakan keterlibatan umat, daripada melaksanakan Perjamuan Kudus di tengah situasi social distancing dan physical distancing saat ini. Itulah sebabnya GKI tidak memilih opsi ketiga, di mana saat Perjamuan Kudus ditayangkan, umat hanya melihat sembari meyakini bahwa mereka juga sudah menerima Perjamuan Kudus secara spiritual. Ketika kita bersama-sama mengecap roti dan anggur, kita sedang menghayati tanda kehadiran Kristus setiap hari di dalam hidup kita, yang mewujud dalam kebutuhan yang paling pokok dalam hidup kita yaitu makanan dan minuman. Dia hadir di sini, saat ini! Dia, Kristus, yang mengajar kita untuk mempercayai Allah sebagai Bapa yang memelihara hidup kita setiap hari, sebagaimana Doa Bapa Kami yang juga kita ucapkan dalam perayaan Perjamuan Kudus ini.
Doa dan harapan kita saat ini adalah kita dapat merayakan Perjamuan Kudus bersama saudara-saudara kita di seluruh GKI, mulai dari Batam hingga Denpasar-Bali. Kapan itu? Akan tiba saatnya! Karena bersama-sama kita pasti bisa melewati badai Covid-19 ini. Bukankah Perjamuan Kudus membawa kita selalu dalam pengharapan, keyakinan iman, belarasa sekaligus ungkapan syukur? (LM)